Bukan pemandangan yang aneh bagi saya melihat pedagang kaki lima memadati jembatan penyebrangan di sepanjang jalan protokol seperti Sudirman. Bukan pemandangan baru juga melihat pedagang kaki lima memenuhi trotoar di sekitar halte disepanjang jalan protokol di Jakarta.
Ada banyak alasan yang dipertimbangkan mereka untuk berjualan di daerah-daerah tersebut, salah satunya adalah alasan strategis. Di jam-jam tertentu, area halte dan jembatan penyebrangan memang sangat ramai dilalui orang. Disitulah keuntungan bagi pedagang, tanpa harus mengeluarkan sewa tempat mereka bisa menjual dagangannya dan pulang membawa sejumlah uang.
Meski dilarang, dan diatur dalam Perda Nomor 8 Tahun 2007( seperti yang sudah pernah saya tulis di postingan sebelumnya), nampaknya tak membuat pedagang kaki lima meninggalkan aktifitasnya untuk terus berjualan di area-area yang sebenarnya menganggu aktifitas publik. Peraturan yang diatur dalam pasal dengan ancaman denda tak membuat mereka takut. Bahkan keberadaan petugas Satpol PP yang berkali-kali melakukan operasi tak cukup membuat mereka jera.
Belakangan marak diberitakan mengenai issue Satpol PP dipersenjatai. Tapi ternyata peraturan tentang Satuan Polisi Pamong Praja dipersenjatai sudah ada sejak 2005. Tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 tahun 2005 tentang Kelengkapan Satpol PP. Disana diatur tentang senjata api yang diperbolehkan untuk digunakan Satpol PP. Senjata itu meliputi senjata api peluru tajam, peluru karet, gas dan alat kejut listrik
Hal diatas sempat menimbulkan pro dan kontra baik di kalangan masyarakat maupun pejabat negara dalam berpendapat. Tetapi, dalam Permendagri baru justru yang terjadi degradasi penggunaan senjata. Disebutkan bahwa senjata api berpeluru tajam akan ditarik.
Sesuai dengan misinya bahwa tugas Satpol PP adalah menegakkan hukum Perda, sehingga dirasa tidak perlu berlebihan hingga dipersenjatai. Bagaimana seharusnya porsi tugas dari Satpol PP jika dikaitkan dengan uraian PKL diatas? Jika hanya mengandalkan kesantunan dalam beroperasi, yang terjadi, PKL akan terus menjadi PR yang tak pernah selesai bagi Satpol PP.
Apa bentuk tindakan tegas bagi PKL agar menjadi disiplin berjualan pada tempatnya? Jika tak perlu menggunakan senjata dan cukup dengan santun dan senyum dalam menertibkan, lantas sampai kapan keberadaan PKL di area publik bisa ditolerir?
Miris, karena tadi pagi seperti biasa saya melihat operasi yang dilakukan satpol PP di area halet Benhil. Dan seperti biasa juga para pedagang hanya menyingkir sejenak dari trotoar ke daerah yang sedikit masuk ke dalam, tidak dipinggir jalan. Sepeninggal petugas mereka akan kembali berjualan.
Kalau menurut anda? Seperti apa solusi untuk permasalahan PKL dan petugas Satpol PP? :)
Also Posted in Kompasiana
And posted on Suara Ente- Kanal Metro VIVAnews.com, dan diedit oleh editornya :)
GaL
9/07/10
Lantai 31
saya sangat2 setuju bila pol pp di persenjatai.. dengan catatan senjata yang digunakan seperti yang saya anjurkan..
ReplyDeletepistol aer sma raket nyamuk..
ReplyDeleteHahah...andie... Pistol aer dengan kekuatan tembaknya yg segimana dulu? Raket nyamuk, yg setrumnya bukan cuma buat kaget ye? buat KAPOK juga :)
ReplyDeletehmmm,,,
ReplyDeletebelum bisa berkomentar,,
hanya saja, perlu deh kiranya mencontoh SOLO
kota Teladan ASIA PASIFIK
dimana PKL tdk dijadikan sbg musuh pemda tetapi mampu diberdayakan dan menjadi asset menarik kota...
*salut dg JOKOWI (Wali Kota Solo)
Ya, di Solo Satpol PP tak perlu dipersenjatai :)
ReplyDelete