Monday, May 31, 2010

Dia Mencintaiku, dan Dia (Juga) Menduakanku


Kata bapak-bapak itu, pernikahan adalah satu paket. Terimalah kekurangan pasangan seperti kamu menerima kelebihannya dengan sukacita.

Bapak ini sudah terlalu tua untuk memberi petuah seperti itu. Dia pikir sekarang jamannya dia muda dulu? Dimana remaja yang beranjak dewasa seperti aku ini patuh dan taat begitu saja pada orangtua dan tak berani berpendapat.

Thursday, May 27, 2010

Friend Request


"Hey!!"

"Eh.. mbak! Apa kabar?" tanyanya sambil menjabat tanganku.

"Baik.. Wah sukses banget sekarang uda ngelatih ampe luar negeri..."

Dia tersenyum "Bisa aja mbak kamu..."

"Eh sorry ya aku buru-buru..."

"Monggo-monggo..."

"Ntar ketemu lagi di dalam.. Kamu duduk dimana?"

"VIP mbak..."

Wednesday, May 26, 2010

Random Tag




Reza tagged you in the note Lelucon Yang Tidak Lucu (Lagi). 9:10pm

Satu notifikasi kuterima di pojok kiri monitorku.

Segera aku mengklik notifikasi tersebut dan membaca cerita pendek yang ditulisnya.

Seperti biasa, aku selalu tersenyum membaca karya fiksinya. Emm entahlah ini fiksi atau bukan, karena nampak nyata alurnya. Tapi sudahlah, yang penting ia berkarya dan aku tak dilupakan untuk di-tag.

***

Tuesday, May 25, 2010

101 Kisah Lavatory- Maskara Luntur

“Iya bu.” Aku pasrah berbalik badan menghadap ke arahnya.
“Nasi uduk satu pake telor aja ya.” ucapnya sambil menyerahkan uang padaku.
***
wildgoddess.wordpress.com
wildgoddess.wordpress.com
Dua plastik bungkusan nasi uduk sudah ditanganku. Saatnya mengantarkan langsung pada Bos dan mbak Maskara.
Aku menyiapkan piring beserta sendok dan garpu Sebenarnya ini bukan kerjaan utamaku, hanya saja aku sering dengan sukarela membantu, lagipula aku mendapatkan tips dari pekerjaan tambahan ini.
“Heh!”
Aku dikagetkan oleh suara yang tak asing bagiku. Suara pacarku. Kami seumuran dan satu pekerjaan. Kurasa dia baru menyelesaikan membersihkan kaca di sisi ruangan keuangan.

Monday, May 24, 2010

Korelasi Kopi


Korelasi Kopi
Share


Aku berkaca, bersiap-siap untuk segera meninggalkan rumah petak ini.

"Woi! Uda rapi aja lo?"

"Berisik amat ya? Keburu malem! Gue mo nemuin cem-ceman gue di taman!"

"Ngimpi kali! Kagak pantes lo mah punya gacoan kaya Mbak-mbak itu."

"Sirik lo ah." Kuletakkan sisir yang kupegang dan bergegas. Aku tak lagi menghiraukan ocehan teman kontrakanku yang masih mengejekku.

Kami tinggal di kontrakan rumah petak di kawasan Cikini. Aku tinggal bersama 3 orang temanku yang lain. Kami berasal dari daerah yang sama, Kuningan Jawa Barat. Mencoba mengadu keberuntungan di Jakarta.

:::
Aku sudah tiba di taman yang tadi kubicarakan dengan teman kontrakkanku. Sebuah taman di bilangan Menteng.Aku menyusuri jalan-jalan setapak di dalam taman ini sambil sesekali menyeka keringat yang mengalir di pelipisku. Taman ini cukup luas, butuh ketelitian untuk mencari sosok si Mbak itu.

Mmm dimana ya dia? Kurasa aku belum telat. Ini waktunya orang mulai pulang dari kantor. Tepat saat matahari meninggalkan langit diganti oleh kehadiran bintang dan bulan. Peluhku sudah mengering terkena hembusan angin malam yang mulai mendominasi.

Sambil terus memasang mata dengan jeli, aku memutari taman ini. Kali ini aku melintasi tempat dimana dulu sempat diletakkan patung Obama. Ah, itu dia, sosok perempuan manis berkacamata tengah duduk bersantai dengan laptopnya di bangku taman.

Kring... kring...kring
Kubunyikan bel sepeda yang sedari tadi kukayuh untuk menyapanya.

Dia melirik kearahku yang sudah berada tepat dihadapannya. Lalu tersenyum. Sangat manis.

"Sudah lama mbak?" tegurku.

"Eh elo. Lumayan juga."

Aku menyenderkan sepedaku pada tiang lampu taman. Sedikit grogi, ini kali kedua aku menyapanya dari sekian puluh kali melihat dan mengaguminya dari kejauhan. Aku memang berpenampilan biasa, mengenakan kaos dan celana jeans, sendal jepit dan rambut yang kubentuk ala vokalis Kangen Band.

"Rambut lo semakin lucu ajah!" komentarnya.

Aku tertunduk, baru kali ini ada orang memperhatikan aku dan berkomentar lucu pada rambutku. Biasanya abang-abang satpol PP itu suka mengataiku Andika jadi-jadian karena gaya rambut yang memang mirip dengan pentolan Kangen Band itu.

Aku hanya tersenyum dan tetap berdiri disamping sepeda usangku. Sepeda yang selama ini menemaniku kemanapun aku pergi. Menemaniku mencari rejeki.

"Senyam-senyum aja lo."

"Hehe.. abis bingung mbak."

"Minta api dong.."

Dengan sigap kuambil korek api yang memang aku siapkan di keranjang depan sepedaku bersama dengan kotak-kotak rokok.

Seaat si mbak yang tadinya manis ini berubah sedikit maskulin dengan cara dia merokok. Aku sedikit terkejut, karena baru kali ini aku melihat dia merokok. Ah, itu tak penting. Yang penting aku bersamanya, menikmati keindahan wajahnya dari dekat.

"Lagi ngapain sih mbak?" tanyaku

Si mbak ini bisa melakukan beberapa hal sekaligus. Sambil merokok, ia tak melepaskan pandangannya dari layar laptopnya.

"Lagi browsing."

"Ha?Bro apa mbak?" tanyaku lagi.

"Browsing... ini lho main internet."

"Oo..." aku mengangguk.

Aku bukan orang berada yang familiar dengan laptop, apalagi menghabiskan waktu dengan internet. Aku hanya sering melihat orang-orang yang hidup di kota metropolitan ini melakukan kebiasaan tersebut. Menenteng laptop dimanapun kapanpun. Dan hanya mendengar obrolan-obrolan para pekerja soal laptop dan internet.

"Kopi dong..." pinta si mbak ini.

Aku mengangguk. Kusiapkan gelas plastik dari sepedaku, kubuka satu sachet kopi hitam dan kutuang kedalamnya. Lalu kuseduh dengan air panas dari termos yang berada di boncengan sepedaku dan kuaduk. Tak lama segelas kopi hitam untuknya sudah siap tersaji.

"Makasih." katanya.

Aku mengangguk lagi dan kembali mendekati sepedaku.

Si mbak tampak resah melihat jam tangannya berkali-kali disela kegiatannya menatap layar laptop yang dipangkunya.

"Kok gelisah mbak?"

"Iya, lagi ada yang ditunggu."

"Oo..."

Dan dia kembali berkutat dengan laptopnya.

"Oya nih, ntar keburu lupa." ia menyerahkan uang untuk membayar.

Aku mendekatinya untuk mengambil dan memberanikan diri duduk disampingnya. Dia menggeser bokokngnya untuk memberiku ruang untuk duduk.

Aku memperhatikan layar laptopnya smabil memasukkan uang ke dalam saku. Apa sih yang ia baca? Terbaca olehku tulisan dengan bentuk simple dan berwarna berbunyi 'SepociKopi'. Letaknya besar di paling atas. Mmm mungkin itu semacam judul besar bacaan si mbak ini ya, pikirku.

"Itu mbak yang namanya internet?" tanyaku penasaran.

"Yap. Gue lagi baca majalah online. Tadinya gue mau nulis, tapi masih gak konsen nih nungguin dia. Bawaan gue khawatir kok gak dateng-dateng."

"Ooo..." aku melongo. Majalah online? Ya ya ya kuanggap aku mengerti yang ia bicarakan, mungkin semacam majalah yang biasa teman kontrakkanku jual di pagi hari. Unik juga judulnya majalahnya SepociKopi. Aku tertawa kecil.

"Hai!!!"

Tiba-tiba terdengar suara perempuan berteriak mendekat pada kami. O, ini rupanya orang yang ditunggu si mbak ini daritadi. Eh, dia mbak-mbak juga bukan ya? Tampilannya kok kaya laki? Tapi suaranya cewek. Tomboy juga si mbak yang baru datang ini. Aku menyimpulkan sendiri apa yang aku lihat.

Mereka mendekat, berpelukan. Lalu, lho? Kenapa bibir mereka bertemu?

Mereka larut dalam pembicaraan yang heboh. Aku perlahan beranjak dari bangku taman menuju sepedaku. Kukayuh sepedaku menjauh dari mereka. Aku tak mengerti dengan apa yang kusaksikan barusan. Aku membisu, seperti segelas kopi dan judul sepoci kopi yang turut menyaksikan kejadian itu.

***

Lantai 31
10:07 am

Terinspirasi Penjual kopi sepeda di Jakarta Pusat dan komen Ciko soal Hawa, googling, menemukan: sepocikopi.com

Sunday, May 23, 2010

Menunggumu Laki-laki

"Sudah lama?"

"Hei, baru saja kok." aku menjawab sambil tergesa menyingkirkan dua gelas diatas meja.

"Robi." ia mengulurkan tangannya.

"Vera." aku menjabatnya.

Dia menggeret kursi dan duduk dihadapanku. Tangannya dengan sigap meraih buku menu, melihat-lihat daftar menu lalu  memanggil pelayan.

Aku merapikan rambutku dengan jemari tangan, semoga rambut ini masih terlihat cantik. Semoga lipstik ini masih bagus terlihat meski aku sudah menegak gelas ketiga selama menunggu.

Ia memesan makanan kesukaannya. Dan mengalilhkan pandangannya padaku saat pelayan telah meninggalkan meja.

"Kamu cantik."

Aku tersenyum meraih gelas ketigaku.

"Jauh lebih cantik dari di foto." lanjutnya.

Aku tersipu dan menggenggam gelas dengan tanganku. Sengaja kupamerkan padanya, tangan yang menyajikan jemari  lentik berwarna senada dengan lipstikku .

"Hey kukumu apalagi... cantik banget. Iri deh."

"Ah, bisa aja." aku tak tahu harus menanggapi apa, mungkin wajahku sudah memerah saat ini. Merona senada dengan warna cat kuku dan lipstikku.

Dia tertawa kecil dan mengeluarkan telepon genggamnya dari dalam saku celana. Sepertinya ada pesan masuk dan mimiknya sangat serius saat membaca dan mengetik balasan pesan singkat tersebut.

Kesempatan aku membenarkan posisi bajuku saat dia tak memperhatikanku.
Kubenarkan sedikit posisi tali bajuku. Dress casual corak etnik dengan tali berwarna kelabu ini kuharap bisa menarik perhatian dia.

Dia telah selesai dengan telepon genggamnya dan meletakkannya tepat disamping asbak. Asbak yang sudah penuh dengan abu selama aku menunggunya lebih dari 1 jam.

"Habis berapa batang?" tanyanya

Uh, mengapa harus meletakkan teleponnya disamping asbak itu sih? Aku kesal harus menjawab pertanyaan menjurusnya tentang bukti-bukti bahwa aku tak sebentar menunggunya disini.

"Baru beberapa kok." aku menjawab sekenanya dan menyingkirkan kotak rokokku agar tak mengundang pertanyaan lagi darinya.

Kami berdiam sesaat, dia nampak memperhatikan orang yang berlalu-lalang di luar restoran ini. Diluar cuaca sedang tidak cerah. Jalan tampak basah. Aku menunggunya sejak matahari maish terlihat hingga hilang digantikan awan tebal yang membawa hujan.

Lagi-lagi ia meraih telepon genggamnya, dan kembali berada di dunianya sendiri mengabaikan aku.

Aku memainkan jari-jariku tepat didepan daguku. Yang kulakukan hanya berusaha menarik perhatiannya. Dan berharap ia membahas baju yang kukenakan. Please... dress sedikit terbuka ini cukup menggoda bukan?

"Eh..."

"Ya?"

"Baju kamu lucu..."

Akhirnya ia memuji juga. "Oya? "

"Iyap!" Ia mengangguk mantap. Matanya memandangi area bahu dan dadaku. "Warnanya pas banget ama kulitmu."

Aku tertawa kecil.

"Kamu kelihatan seksi dengan bahu yang terbuka gitu lho..."

Aku tersenyum, malu. Yes... itu yang kuharapkan. Tak sia-sia menunggumu lama, tapi aku mendapatkan pujian dan berhasil menarik perhatiannya.

Lagi-lagi ia kembali berkutat dengan telepon genggamnya. Sementara aku mencoba menyisir rambutku lagi dengan jari-jariku.

"Sudah habis dua gelas?" tanyanya sambil meletakkan kembali telepon genggamnya di meja.

Sial! Dia memperhatikan juga dua gelas diatas meja ini dan satu gelas yang kugenggam sedari tadi. Aku mengangguk.

"Sudah lama ya menungguku?"

"Ah enggak kok." jawabku berbohong. "Ennggg... itu tadi ada teman mampir." semoga muka ini tak terlihat berbohong. Ia menganggukkan kepalanya tanda mengerti.

Dasar perempuan, mengorbankan  perasaan demi menjaga perasaan  lawan jenisnya. Mana ada menunggu sebentar menghabiskan es teh di gelas ketiga? Kecuali aku baru maraton keliling kota!

Ini pertemuan yang sudah lama kuidamkan. Bertemu dengannya yang sudah lama kukenal lewat dunia maya. Dan dia sangat tampan sama seperti fotonya. Putih, tinggi, sangat harum, rapi sekali. Semoga aku memberikan kesan pertama yang elegan padanya.

Baju, sepatu, tas, rambut, make-up hingga cat kuku semua kupersiapkan jauh-jauh hari. Aku rasa aku sudah sangat sempurna sebagai wanita idaman saat ditemuinya di dunia nyata. Dan berharap ini awal yang baik untuk mengenal lebih dekat satu sama lain.

"Pinjam koreknya dong..."

"Owh, boleh..." kukeluarkan korek api dari dalam tasku.

Ia meraihnya dariku, sekilas tangannya menyentuh jemariku. Tangannya begitu halus. Aku gugup.

Rokoknya sudah menyala dan ia mulai menghembuskan asap keatas. Diletakkannya kotak rokok mentholnya tepat disamping telepon genggamnya yang bergetar lagi.

Aku memainkan ujung rambutku yang terurai seraya memperhatikannya membalas pesan melalui telepon genggamnya. Laki-laki yang sangat tampan ini idaman semua wanita kurasa.

"Ah akhirnya.. datang juga!" serunya.

Bagus, tampaknya pelayan sudah datang dari belakangku membawakan pesanannya. Kupastikan sambil menyantap pesanannya obrolan kami bisa lebih mencair.

Ia berdiri mengangkat bokongnya dari tempat duduk.

Mengapa menyambut pesanan yang dibawakan pelayan harus dengan berdiri? Aku merasa janggal dan menoleh.

Ia pun mengambil alih pembicaraan, "Vera, kenalkan ini Adam. Adam, ini Vera teman chat yang aku ceritakan itu lho sayang."

***
Draft dibuat waktu nungguin #hermesian kumpul di Plangi tadi siang
23 Mei 2010

Menunggu itu sudah membosankan berbuntut tidak menyenangkan pulak ya terkadang! :)

Friday, May 21, 2010

Belakang Layar #Hermes For Soccer

Kisah belakang layar dapur rekaman OST Hermes For Soccer Satu-Kosong. Silahkan main ke link berikut http://hermesian.wordpress.com/2010/05/20/the-making-of-ost-emagz-satu-kosong/

Dokumentasi bisa diklik disini

Monday, May 17, 2010

Satu-Kosong ost Hermes For Soccer feat The Hermes

  Satu-Kosong by Endy Daniyanto 

[Emagz#2 The Hermes] Hermes For Soccer


Cerita tentang sepakbola, tak cuma sekedar menendang si kulit
bundar, atau beraksi dengan lincah di lapangan hijau, tapi banyak kisah di
balik setiap pertandingan sepakbola. Apakah itu kisah tentang penonton bola,
kehidupan pribadi sang pemain, kisah cinta di balik stadion, atau bahkan
cerita mengenai bola itu sendiri.
Hermesian dengan cerdik menangkap setiap kisah yang berlatar
belakang sepakbola, dikemas secara menarik, dan ditutup dengan ending
yang tak terduga, khas Hermesian.
Kami berikan anda sajian baru tentang sepakbola, yang tak melulu
harus menendang bola ataupun lapangan hijau. Silakan menikmati
persembahan Hermesian dalam rangka menyambut Piala Dunia 2010 ini.
@gembrit
- editor -
Feel Free to Download here:

http://bit.ly/hermesforsoccer

Follow us on Twitter | @The Hermes
Blog | http://hermesian.wordpress.com/
Editor by Chicko Handoyo Soe
Proof Read by Astrid Dewi Zulkarnain
Layout by Danang Saparudin & Galuh Parantri
Cover Design by Danang Saparudin
Original Soundtrack by Endy Daniyanto –Blue Summer

Friday, May 14, 2010

[Emagz #2 HErmes For Soccer] Degradasi




Aku mulai membaca pesan-pesan yang masuk ke kotak masuk

Ting!
Ayoo donk, masak kalah lagi Persija sore ini. Menangin ya Tuhan!

Ting!
Bismillah... Persitara is the best.

Ting!
Saya berdoa BP kasih gol yang banyak sore ini! Jangan degradasi!

Ting!
Jangan ada yang cedera ya Tuhan. Persitara harus prima. Amin!

Ting!
Tidak boleh kalah Tuhan.. Derby kali ini Persija menang.


***
Pesan-pesan dari manusia pecinta bola yang datang bertubi-tubi
Bagaimana akhir ceritanya? Nantikan Emagz#2 Hermes For Soccer by The Hermes



Launching 16 Mei 2010 



Jangan lupa Ketemu dengan The Hermes di Temu Penulis Muda World Book Day Indonesia 2010 di Museum Bank Mandiri Jakarta 16 Mei 2010 jam 13.00-selesai.






Saturday, May 08, 2010

101 Kisah Lavatory- Cerita Pagi

Si Bos tampak merapikan bajunya dan menyisir rambutnya dengan jari-jari lentiknya. Meski sudah memiliki anak, si bos punya selera berpakaian. Memadu-madakan warna dan asesoris. Penampilannya sangat menarik. Sayang, badannya sudah tak seindah saat ia belum melahirkan.

Aku menunggu apa yang akan dia tanyakan lagi

“Cantik mana saya dengan dia?”

Aku diam. Memperhatikan lagi si bos di depanku. Tak tahu harus menjawab apa. Mengapa dia seolah-olah bisa membaca pikiranku?

“Ah sudahlah Mila, lupakan pertanyaan bodohku barusan. Pulang sana. Semoga besok ada cerita dari dia saat berdandan di toilet.”

Bos pun berlalu.

Aku menarik nafas lega. Tapi hati tetap tidak tenang.

Akupun berjalan masuk kedalam lift servis untuk pulang.

***



Pagi ini aku tidak terlambat datang. Aku ingat pesan pengawasku bahwa hari ini aku harus lebih pagi tiba, karena bos-bos besar akan rapat lebih pagi. Itu artinya aku harus menyiapkan lavatory lebih awal dari biasanya. Pengawasku akan berbaik hati nanti, dia pasti mengijinkan aku pulang lebih awal.

Aku berjalan menuju lavatory. Ditangan kananku ada ember yang berisi perlengkapanku . Semua ada disini pembersih kloset, pembersih wastafel, lap, cairan pewangi kloset, cairan pewangi ruangan, cairan pencuci tangan, tissue, sikat, dan sarung tangan plastik.

Kudorong pintu lavatory dengan punggungku. Kuhirup udara di dalam lavatory. Mmm masih wangi. Nampaknya cairan pengharum ruangan masih belum waktunya diganti.

Kuletakkan ember tepat di tempat sampah alumunium di pojok ruangan dekat pintu masuk. Kugunakan sarung tangan plastik untuk memulai pekerjaanku.

Kumulai dari memeriksa satu persatu bilik untuk memastikan persediaan tisue. Selalu saja bilik paling pojok adalah bilik yang selalu lebih dulu kehabisan stok tisu. Mungkin orang lebih merasa nyaman ketika berada pada bilik pojok, lebih merasa privasinya terjaga. Segulung tisu masing-masing kupasangkan pada tempatnya untuk dua bilik yang berada di pojok.

Tanaman air di dekat wastafel sedikit menguning, mungkin dia butuh cahaya. Kutukar air didalam vasnya dengan air baru dari kerangan. Kuletakkan kembali pada tempatnya dengan posisi dimana daun-daunnya yang cantik terlihat proporsional.

Selanjutnya pekerjaan menyikat kloset dan wastafel. Ini pekerjaan yang gampang karena tak perlu ijazah s1 dan semua orang pasti melakukannya rutin dirumahnya masing-masing. Aku berdendang menghilangkan rasa bosanku. Aku memang baru bekerja disini tapi, pekerjaan macam ini sudah kulakukan cukup lama juga. Aku punya cita-cita bisa menjadi pengawas seperti mbak Susi. Pengawasku bernama Susi itu baik hati dan disukai oleh seluruh staffnya. Tidak seperti bos cerewet itu, malah bermasalah dengan anak buahnya, terlibat affair lelaki pula.

Tiba-tiba pikiranku melayang pada kejadian kemarin. Tak enak berada dibawah tekanan si bos. Aku masih merasa bersalah memberi keterangan pada bos itu soal percakapan Mbak Maskara itu dengan lelaki yang juga adalah selingkuhan si bos.

Tak terasa pekerjaanku selesai juga. Kuseka keringat yang mulai menetes di keingku dengan lengan bajuku. Sebentar lagi keringat ini juga hilang, karena AC kantor muali dinyalakan dan kedinginan akan segera menyerang.

Semua peralatanku kumasukkan kedalam ember seperti posisi semula. Sebelum meninggalkan lavatory aku memeriksa alat pengering tangan dismaping wastafel. Kutempelkan tanganku dibawahnya dan alat itu menderu. Berarti alat ini masih berfungsi baik. Kuraih emberku dan bermaksud meninggalkan lavatory.

Disaat yang bersamaan aku memegang handle pintu, pintu terdorong dari arah luar. Mbak maskara sudah berada di depanku dengan wajah murung.

"Eh pagi mbak." AKu terkejut.

"Pagi."

Dia melangkahkan kakinya mendekati wastafel. Melihatnya yang tak seceria kemarin aku mengurungkan niatku untuk keluar dari lavatory.

"Pagi amat mbak?"

"Hmmm iya, bos kan mau meeting, aku suruh nyiapin berkas-berkasnya. Lagipula dia juga akan ada di miting yang sama nanti. Sejak resign dari sini dia kan masih di perusahaan tetangga, masih stau grup juga dengan perusahaan ini. Sebel!"

Si mbak maskara mencuci tangannya sambil bercermin. Itu kebiasaannya bila berada di depan kaca.

"Baru aja dia terlihat tertarik ma gue dan mengabaikan si bos cerewet itu, pagi ini harus bertatap muka bertiga. Huh. Nggak sudi rasanya harus satu ruangan rapat dengan si bos cerewet. Yang gue pengen cuma berdua ma dia kaya dua malam ini...."

Aku menyimak penuturan mbak maskara sambil memainkan lap keringku. Dia membuka dompet andalannya yang berisi alat-alat make up. Wajahnya memang masih polos, dan nampak tak fit seperti kurang tidur.

"Semalam, gue jadi dinner ama dia. Dan dia beliin gue baju ini." mbak maskara menarik ujung dressnya untuk memamerkan kepadaku.

Aku tersenyum , dress ini memang bagus. Simpel dan seksi. Dua kata itu saja.

"Tapi dia bilang gue seksi make baju ini, seneng deh . Padahal awalnya gue sempat sedikit kesal sih karena pagi ini harus cepat-cepat bangun buat nyiapin miting dan bakal melihat dia ketemu dengan bos cerewet. Padahal gue ma dia baru tidur jam 4 pagi." ia selesai menyapu bedak pada wajahnya.

Wew. Aku berpikir ringkas, dua orang baru tidur jam 4 pagi? Menyenangkan sekaligus membahayakan.

"Eh bos itu uda datang belom seh?"

"Emm belom mbak."

Si mbak maskara kembali berkaca dan meneruskan make up pada bagian mata. Aku suka memperhatikannya, sama saat ia bertukar info soal maskara dengan si boss tempo hari.

"Istrinya lagi pergi keluar negeri 3 minggu. Dan ini uda masuk hari kelima dia sendiri. Gue seneng banget dua malam ini gue ma dia, dan malam-malam besok pasti akan sama indahnya kaya dua malam ini."

Aku manggut-manggut. Mbak maskara mulai menyapu blush on ke wajahnya sambil terus bercerita.

"Gue dibawa ke apartemennya yang dia punya buat investasi pribadi. Istrinya aja gak tau. Malam ini gue kudu puas-puasin ama dia lagi!"

Aku masih menyimak mbak ini bercerita sambil meperhatikan langkah-langkah ia berdandan.

"Semoga nggak ada kekacauan dari boss cerewet itu!"

Deg! Kenapa tiba-tiba ia membahas si bos? Apa mbak maskara tahu kalau aku sempat memberi info bahwa dia kemarin akan dijemput oleh selingkuhan si bos? Aku diam.

"Gue nggak mau dia merusak hari-hariku. Bolehlah my handsome ex boss sempat ngedate ama si bos cerwet, tapi tetep gue yang berhak bercinta ama my Man!"

Aku agak tidak paham dengan kalimat-kalimat inggris yang diucapkan mbak maskara. Mmmm sepertinya intinya ia tetap tidak mau kalah dari bos cerewet didepan ex bos mereka.

"Oya, ada masalah nggak dengan robekan kertas laporan keuangan kemarin? Apa si bos nanyain?" mbak maskara berganti topik sambil memoles lipstik pada bibirnya.

Aku menggeleng.

Ia menoleh padaku dan bertanya lagi, "Nanyain nggak?"

"Enggak mbak"

"Baguslah, gak penting juga ya. Yang penting jangan sampai dia ngerebut my handsome ex boss!"

Mbak maskara menyelesaikan dandanannya, dan merapikan semua peralatan makeupnya kembali kedalam dompet make up.

"Kamu sudah sarapan?" tanya si mbak sambil memasang arloji pada tangannya

Aku menggeleng lagi.

"Nih, tolong beliin aku sarapan ya, sisanya buat kamu. Makasih udah dengerin gue cerita." Mbak maskara menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan.

"Banyak amat mbak sisanya kalau cuma beli Nasi uduk..."

"Ambil aja.."

Aku menerima uangnya dan mengantonginya. Perasaanku semakin tak enak. Mbak maskara baik dan percaya padaku, sementara aku sudah membocorkan info ke bos cerewet.

Pintu lavatory terbuka.

Aku dan mbak maskara menoleh bersamaan.

Bos cerewet berjalan masuk tanpa ekspresi dan seperti biasa menuju bilik paling pojok kanan. Dia tampak lebih muda dengan dress bercorak bunga. Aroma parfumnya cukup menyengat hidungku.

Mbak maskara menepuk bahuku tanpa bersuara ia menempelkan jari telunjuknya di bibir dan memberi isyarat agar aku segera pergi membeli sarapan. Lalu ia berlalu.

Aku memberesi emberku, tepat saat pintu bilik terbuka.

"Mi!"

Boss itu memanggilku. Aku terlambat menghindar.

"Iii ii ya bu." Aku menoleh padanya.

Aku sangat takut akan ditanya-tanya seperti kemarin sore. Karena ia memergokiku berdua saja dengan mbak maskara di lavatory ini barusan.

"Sudah lama perempuan itu disini tadi?" tanyanya sambil membasuh tangannya di wastafel.

"Sudah bu." Aku mengangguk.

Aku semakin gugup. Takut akan pertanyaan berikutnya. Pasti dia akan bertanya cerita apa dia padamu?

Bos cerewet mendekatiku.

Aku mencoba melangkah dan meraih handle pintu lavatory. Serta merta pundakku ditahan olehnya.

"Bentar mi."

Jantung ini rasanya semakin berdegup kencang. Apa wajahku tampak gugup ya? Aku takut diberodong pertanyaan seperti kemarin.

"Iya bu." Aku pasrah berbalik badan menghadap ke arahnya.

"Nasi uduk satu pake telor aja ya." ucapnya sambil menyerahkan uang padaku.

***

GaL
lantai 31
8 Mei 2010 | 7:47 pm

Meet The Hermes

Ayo, ketemu dengan The Hermes!!!


Catat ya...

Temu Penulis Muda event World Book Day Indonesia 2010
Hari: Minggu
Tanggal: 16 Mei 2010
Tempat : Museum Bank Mandiri Kota Jakarta
Jam : 13.00- selesai

Agendanya seru!
Kenal lebih dekat dengan #Hermesian
Membahas kaya-karya The Hermes
Diskusi Buku Adriana - Artasya Sudirman

Diskusi Buku Antologi Sebilah Sayap Bidadari - sahabat The Hermes, Senda Irawan

Music performing by Blue Summer

Dapetin juga diskon buku beli ditempat!

See You There!!

:::