“Iya bu.” Aku pasrah berbalik badan menghadap ke arahnya.
“Nasi uduk satu pake telor aja ya.” ucapnya sambil menyerahkan uang padaku.
***
Dua plastik bungkusan nasi uduk sudah ditanganku. Saatnya mengantarkan langsung pada Bos dan mbak Maskara.
Aku menyiapkan piring beserta sendok dan garpu Sebenarnya ini bukan kerjaan utamaku, hanya saja aku sering dengan sukarela membantu, lagipula aku mendapatkan tips dari pekerjaan tambahan ini.
“Heh!”
Aku dikagetkan oleh suara yang tak asing bagiku. Suara pacarku. Kami seumuran dan satu pekerjaan. Kurasa dia baru menyelesaikan membersihkan kaca di sisi ruangan keuangan.
“Kamu bikin kaget!”
“Mau dong nasi uduknya neng!”
“Sssttt, ini punya bos. Duh sana jauh-jauh deh, ntar ketauan mbak Susi!” aku panik.
“Alah… aku kan cuma mo ambil air minum kesini neng. Mbak Susi nggak curiga kok.”
Aku tak menggubris kata-katanya. Segera kusajikan nasi uduk yang tadi kubeli kedalam dua piring melamin dan siap membawanya ke ruangan kaca.
“Uda ah. Ntar ajah ngobrolnya pas istirahat!” aku bergegas meninggalkannya yang tertawa di belakangku.
:::
“Ambil aja kembaliannya, kan tadi gue uda bilang…” ucap mbak maskara sambil menerima piring yang kusodorkan.
Uang lima puluh ribu untuk satu porsi nasi uduk? Aku hanya mengangguk-angguk. Tanda terimakasihnya untuk mendengarkan curhatannya dihargai sebanyak uang kembalian nasi uduk.
Aku berjalan menuju meja bos di sudut ruangan.
“Taro situ ajah nasi ma uangnya.” ia terlihat sangat konsentrasi dengan ketikannya sampai-sampai akupun tak ditolehnya.
Uang duapuluhribu, masih diminta pula kembaliannya? Bener-bener bos pelit.
Aku berjalan keluar ruangan kaca sambil menatap mbak Maskara yang duduk diseberangku. Ia tertawa kecil melihat ekspresiku menanggapi kalimat yang terlontar dari Bos cerewet itu. Bibirnya berucap kata SABAR tanpa suara padaku. Aku mengangguk.
:::
Siang hari seperti biasa waktunya membereskan lavatory. Peralatanku sudah siap di dalam ember yang kujinjing. Sambil berdendang kulangkahkan kaki memasuki lavatory.
Wangi aroma jeruk semerbak saat kubuka pintu dengan punggungku. Kuletakkan ember pada pojok ruangan. Saatnya bercermin dulu. Dasar perempuan, tidak bisa melihat cermin menganggur bukan? Aku membenarkan ikatan rambutku.
Aku memulai dengan memeriksa tissue pada tiap bilik. Kumulai dari bilik paling kiri, lalu bagian tengah dan ow ternyata paling ujung ada orang di dalamnya.
Aku memilih melanjutkan melap wastafel sambil menunggu bilik kanan kosong untuk memeriksa tissu. Tapi sayup-sayup aku mendengar isak tangis. Serem juga, ini beneran orang yang nangis bukan, pikirku. Aku mengabaikan sambil terus melap wastafel.
Namun suara tangisan itu semakin kuat. AKu mendekat ke bilik paling kanan. Kuketuk perlahan pintunya.
“Ibu.. Mbak… Baik-baik aja?” tanyaku.
Tak ada jawaban, namun isak tangis itu masih terdengar.
Kuulang lagi pertanyaanku “Mbak, ibu… mbak atau ibu baik-baik aja didalam?”
Kunci pintu bilik terdengar terbuka, dan keluarlah mbak maskara dari dalam bilik. Wajahnya sayu, tak sesemangat tadi pagi. Matanya menghitam karena maskaranya meluntur.
“Eh mbak tho. Mbak kenapa?” tanyaku hati-hati.
Dia tak menjawab, melewatiku menuju wastafel dan membasuh wajahnya. Aku tak berani mendekat. Kupandangi dia dari depan pintu bilik paling kanan.
Usai membasuh wajahnya, ia mengusapnya dengan tissu, lalu menatap cermin.
Lavatory yang sepi rasanya semakin mencekam, hanya suara nafas kami yang terdengar. Aku mencoba mencairkan suasana dengan melakukan pekerjaanku. Mengganti tissu bilik paling kanan.
Sambil memasang gulungan tissu baru aku mencoba berdendang. Aku tak melihat mbak maskara yang berada di area wastafel. Di dalam bilik aku hanya menyibukkan diri dengan bernyanyi-nyanyi kecil. Setelah selesai akupun keluar.
“Mi..” panggilnya.
“Iya mbak?”
“Kamu pasti sedang bingung ya?”
Aku bingung mendengar pertanyaan mbak ini. Jadi aku diam tak menjawab.
“Kamu bingung kan harus bagaimana? Si bos itu menyuruhmu untuk cerita apa saja yang kamu tahu soal gue dan bos ganteng itu kan?”
Sontak aku menjatuhkan gulungan tissu sisa yang tadi kugenggam. Aku gugup. Mbak maskara sudah tahu kegundahanku.
“Ee.. eemm…” aku bingung tak menjawab sambil memungut tissu yang menggelinding kedekatnya.
“Bos itu yang membuka semua cerita itu. Tadi aku dipermalukan di depan rekan-rekanku.Dia menjelek-jelekkanku , mengatakan aku murahan karena bisa diajak tidur oleh bos ganteng itu.”
Aku merasa bersalah. sementara mbak maskara menjagaku yang menemukan sobekan kertas laporan keuangan aku justru bercerita tentang dia dan bos ganteng itu pada bos cerewet.
Mbak maskara masih menatap cermin melanjutkan omongannya “Aku seperti diinjak-injak olehnya. Bangga sekali dia tadi, bahwa tahu darimu soal kencan-kencanku dengan bos ganteng. “
Ia menghela nafas panjang.
“Ma .. maaf mbak.”
“Gue nggak nyalahin lo mi. Lo pasti ditekan ama dia kan? Makanya lo gak punya pilihan untuk cerita.”
Aku mengangguk cepat. Membenarkan pendapat mbak maskara.
“Dia kan merasa paling bos disini. Makanay bisa memanfaatkan kamu untuk info yang ia butuh. Bisa seenaknya mencampur urusan pribadi dengan kerjaan.”
Aku masih mematung. Mendengarkan cerita si mbak ini.
“Entahlah, dia memang iri ama gue. Soalnya bos ganteng itu sudah tidur dengan gue, dan ninggalin dia. Tinggal nunggu waktu, gue mau buktiin dulu soal laporan keuangan, abis itu gue mau cabut darisini. Kalo perlu gue minta kerjaan dari bos ganteng. Itu mudah!”
Sekarang mata mbak maskara berbinar penuh ambisi. Ia merapikan rambutnya, lalu memoles lipstik. Mmm dia akan membuktikan sesuatu soal laporan keuangan? Apalagi ini? Sobekan kertas itu memang ada kaitannya dengan maslah-masalah pribadi mereka? Aku berpikir sambil meringkasi peralatan pembersihku.
Mbak maskara merapikan baju dan berkata lagi pada cermin yang ditatapnya sedari tadi.
“Cukup harga diri gue diinjak-injak dan dicaci di depan temen-temen gue, gue bakal balik keadaannya. Dia bakal malu karena tidak profesional!”
***
Lantai 31
25 May 2010
10:04 am
No comments:
Post a Comment