Monday, May 31, 2010
Dia Mencintaiku, dan Dia (Juga) Menduakanku
Kata bapak-bapak itu, pernikahan adalah satu paket. Terimalah kekurangan pasangan seperti kamu menerima kelebihannya dengan sukacita.
Bapak ini sudah terlalu tua untuk memberi petuah seperti itu. Dia pikir sekarang jamannya dia muda dulu? Dimana remaja yang beranjak dewasa seperti aku ini patuh dan taat begitu saja pada orangtua dan tak berani berpendapat.
Tak genap sepekan lagi aku akan melepas masa lajangku. Dia, orang yang saat ini duduk disampingku adalah calon suamiku. Waktu berjalan lambat, padahal jadwal penataran ini hanya membutuhkan waktu dua jam.
"Masih lama nggak sih Bapak ini?" , bisikku.
"Sssttt...." Kamu hanya menjawab pertanyaanku dengan meletakkan jari telunjuk pada bibirmu.
***
Patuhlah pada suamimu. Itu yang terekam di otakku sejak mengikuti penataran persiapan menuju pelaminan. Sebagai istri harus menurut kata suami. Harus menjaga diri untuk suami. Bagaimana kalau aku tak patuh? Aku akan dicap sebagai istri tak berbakti, dan ada ganjaran dariNya kelak.
Saat ini, apa aku akan menjadi istri tak berbakti?
Saat aku berlebihan mengkhawatirkan dia yang tak memberi kabar saat malam telah semakin larut. Saat terlelap menunggunya hingga menemukannya sudah terdengkur saat aku bergegas di pagi hari. Saat ia memintaku melayaninya padahal mulutnya beraroma alkohol? Saat ia menyebut nama wanita lain dalam racauannya? Saat aroma parfum wanita tercium saat aku memeluknya? Atau saat ia meminta dengan kasar secangkir kopi hangat dipagi hari?
Ini yang dikatakan terpenjara dalam sebuah pernikahan dengan dalih agama. Ya, aku harus mematuhi semua perintahnya. Pernikahan bukan ritual suci, tapi hanya seperti prostitusi yang dilegalkan. Aku hanya seperti kerbau yang dicucuk hidungnya.
Mengandalkan feeling dan sensitifitasku sebagai kaum hawa rasanya sudah cukup. Dia tak hanya mencintaiku. Apa aku harus mengalah? Atau harus merasa bersalah?
"Apa dia lebih cantik?" aku bertanya pada cermin.
"Dia memberi apa yang kamu abaikan"
Aku mengernyitkan keningku.
"Tak pernah ada emansipasi pada pria."
Aku semakin mengangkat alisku tanda tak mengerti dengan dialogku sendiri.
"Bercerminlah..."
***
Matahari mulai menyapa melalui celah jendela. Aku telah siap dengan seragam kerjaku. Aku beranjak dari depan kaca rias mendekatinya perlahan yang masih terbaring di tempat tidur.
Sambil mengecupnya kuberbisik "Pagi sayang, kopi apa yang kau inginkan pagi ini?"
Inspired dari notes Endik Koeswoyo Aku Mencintaimu Tapi Terkadang Aku Menduakanmu dan Aku Mencintaimu Tapi Terkadang Aku Menduakanmu II
Labels:
[Fiksi Lepas Tematik] Venus
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
wew,,,sedih :(
ReplyDeleteHai fino thx u udah mampir baca :)
ReplyDeleteManusia ituh kan gudangnya lalai, tapi selalu akan ada koreksi bukan?
:)
aku setuju yg satu paket itu..bener 2 harus bisa terima semua nya karena tidak ada manusia yg sempurna...
ReplyDeleteHai monica thx u udah main kesini :)
ReplyDeleteSepkaet yang seimbang! :)
thanksy postingannya.. bagus2,itu @ ketakutan yang beralasan ko''..
ReplyDeleteHAi andie...!!
ReplyDeleteKetakutan yang beralasan... :)
hmm
ReplyDeletesedih
tp nyata
bukan bohong
:)
mendua
menduakan
menduakanku
a sad story
though
and feel so near here
what a fragile life
to hand it ourself
right
nothing is special
only for us
only one for us
except
our own
heart
and self
Hai wid...
ReplyDeleteMakasih uda baca dan komen :)
Ini actually fiction-tp temanya emang brgkt dr diskusi ringan dgn temen :)
pernah dibegituin sama orang yang sebenarnya aku sayang, sakit.. iya pastinya. Bertahun2 ... iya , tapi alhamdulillah saya bisa membuat itu sebagai pelajaran :) dan saya lebih enjoy menikmati cobaan lainnya.
ReplyDeleteWawooetz...
ReplyDeleteWah serius?
Saya cuma mengankat dari diskusi lho ini bukan cerita nyata. Ternyata memang ada ya?
Sabar ya
Allah pasti kasih cobaan yang sanggup dilalui hambaNYA
SEmangat!
salam kenal di kunjungan perdana..
ReplyDelete(^__^)
Hai Seiri!!
ReplyDeleteSalam juga :)